Menjalani profesi pekerjaan sosial akan dihadapkan ke dalam berbagai macam kasus, baik pada level mikro, mezzo, maupun makro. Disinilah keahlian pekerja sosial ditantang untuk bersikap tepat ketika mengambil keputusan. Namun menyelesaikan suatu kasus tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Pekerja sosial akan mengalami kedilemaan etik yang harus ia hadapi. Seperti kasus menjaga kerahasiaan klien tetapi di sisi lain membahayakan jiwa individu lain.
Makalah
ini akan menjawab kasus dilema etik dalam pekerjaan sosial menurut pandangan
fiqih sosial. Metode apa yang dilakukan fiqih sosial dalam menangani kasus
dilema etik menjaga kerahasiaan klien? Atas dasar apa metode tersebut diambil?
Menurut
penulis penyelesaian kasus dilema etik hampir mirip dengan ijtihad dalam ilmu
ushul fiqih. Pemeran utama yaitu pekerja sosial dituntut untuk mengambil
keputusan atas dasar ijtihad yang kuat.
Dilema
Etik Pekerjaan Sosial
Keberadaan
kode etik dalam pekerjaan sosial berperan sebagai pemandu untuk jalannya
intervensi. Kode etik menjadi pembatas dan pedoman dasar bagi pekerja sosial
agar terarah dan tidak bersikap seenaknya saja.
Lebih
jelasnya kasus menjaga kerahasiaan (privacy) klien. Seorang klien bernama Ahmad
positif mengidap penyakit HIV, Ahmad meminta pada pekerja sosial yang menangani
kasusnya untuk merahasiakan penyakitnya tersebut dari istrinya, karena Ahmad
takut ditinggalkan oleh istrinya. Dalam kasus ini pekerja sosial dibingungkan
dengan kode etik yang harus menjaga rahasia klien atau membongkar rahasia klien
untuk keamanan istrinya.[1]
Menurut
Keraf atau Reamer terdapat dua teori yang bisa digunakan untuk mengambil
keputusan ketika terjadi dilema etik.
1. Etika
Deontologi
Deontologi
berasal dari kata Yunani Deon berarti kewajiban. Menurut etika ini suatu
tindakan dianggap baik berdasarkan tindakan itu sendiri bukan berdasarkan
tujuan maupun dampak dari perbuatan tersebut. Seperti pada kasus menjaga
kerahasian klien, meskipun akan berakibat buruk ketika menjaga rahasia klien
tetapi hal tersebut baik karena pekerja sosial telah melaksanakan kewajibannya
untuk mentaati hukum atau kode etik yang berlaku.
2. Etika
Teleologi
Etika teleologi bertolak
belakang dengan etika deontologi. Pada etika teleologi lebih difokuskan
terhadap dampak baik dan buruk yang akan terjadi dari tindakan tersebut. “Etika
teleologi didentikan dengan teori utilitarian yakni baik buruknya sesuatu
berdasarkan berguna atau tidaknya.” [2]
Pada hakikatnya tidak ada aturan pasti bagi pekerja sosial
untuk memilih teori mana yang harus diambil, itu semua kembali kepada nilai
yang dianut oleh masing-masing pekerja sosial.
Pandangan
Fiqih Sosial
Menurut
Miftachul Huda ada tiga kata kunci dalam memahami definisi pekerjaan sosial.
Pertama, aktivitas profesional yaitu aktivitas yang telah dibekali standar
keilmuan sosial (profesionalisme). Kedua, masalah sosial. Pekerja sosial
berkewajiban untuk menyelesaikan masalah sosial di berbagai tingkatan atas
dasar ilmu yang diperolehnya secara akademis. Ketiga kesejahteraan. Dalam
praktik pekerjaan pencapain kesejahteraan adalah tujuan utama yang ingin
diperoleh.[3]
Kata kunci yang ketiga inilah yang akan menjadi dasar dalam menentukan metode
penyelesaian kasus dilema etik.
Seperti
dalam pemikiran Sahal Mahfudz, Ali Yafie, dan Jasser Auda inti dari fiqih
sosial adalah kemaslahatan. “Dalam konteks pekerja sosial, kemaslahatan adalah
kesejahteraan sosial (social well-being).”[4] Menindak lanjuti kasus dilema etik dalam
memutuskan menjaga kerahasiaan klien atau membongkarnya, perlu dilihat dari
segi dampak baik dan buruk dari tindakan tersebut. Karena tujuan
kemaslahatanlah yang ingin dicapai. Proses memutuskan mana yang akan dipilih
sama halnya seperti ijtihad yaitu mengerahkan segala daya dan upaya untuk
memperoleh sesuatu keputusan.
Metode
ijtihad yang cocok dipakai untuk
memutuskan kasus dilema etik adalah metode Al-Dzari’ah. Menurut Counoyer
memperingatkan (warn) dan menjaga (protect) orang yang terancam
terkait sebuah kasus adalah tanggung jawab dan kewajiban pekerja sosial.[5]
Istrinya Ahmad perlu dijaga jiwanya dibandingkan pekerja sosial yang harus
menjaga rahasia Ahmad sendiri.
“Kata
Al-Dzari’ah berarti jalan yang menghubungkan sesuatu kepada sesuatu yang
lain. Sedang menurut istilah adalah sesuatu yang akan membawa pada
perbuatan-perbuatan terlarang dan menimbulkan mafsadah, atau yang akan membawa
pada perbuatan-perbuatan baik dan akan menimbulkan maslahah.”[6]
Dengan demikian ada dua macam al-dzari’ah. Pertama, sad al-dzari’ah yaitu menutup peluang yang akan menimbulkan
kerusakan, bisa dihukumi sebagai perbuatan yang haram atau makruh apabila
tindakan tersebut dilanjutkan. Seperti menjaga kerahasiaan klien yang akan
membahayakan individu lainnya. Kedua, fath al-dzari’ah yaitu membuka
peluang untuk memperoleh kemaslahatan, bisa dihukumi sebagai perbuatan wajib,
mandub, atau mubah apabila dilakukan. Seperti hal nya membongkar rahasia klien
untuk menyelamatkan nyawa seseorang.
Pilihan
membuka atau menutup suatu perkara bisa didasarkan atas dua pertimbangan, yaitu
melihat akibat yang akan ditimbulkan perbuatan-perbuatan itu dan melihat niat
dari pelaksanaan suatu perbuatan. Pada kasus ini Ahmad terlihat lebih
mengedepankan egonya dibandingkan keamanan istrinya, maka menutup perbuatan
Ahmad sangat dianjurkan demi menyelamatkan istrinya dari tertular penyakit HIV.
Kesimpulan
Persoalan
menyelesaikan kasus dilema etik dalam menjaga kerahasiaan klien atau membongkarnya
menurut fiqih sosial dapat dilihat dari segi memberikan kemaslahatan atau
tidaknya. Metode Al-dzari’ah sangat cocok untuk menangani hal ini. Dimana
pekerja sosial diberikan peluang selebar-lebarnya untuk berpikir sehingga
akhirnya mengambil keputusan sad al-dzaria’ah atau fath al-dzari’ah.
Pilihan fath al-dzari’ah dalam kasus ini lebih memberikan kemaslahatan
yang sesuai dengan teori etika teleologi yang melihat akibat dari perbuatan
tersebut. Sebagaimana kaidah fiqih “segala jalan yang menuju terciptanya suatu
pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun diharamkan.”[7]
Karena mengedepankan ego dan mementingkan kepentingan pribadi bukan jalan yang
baik yang justru membahayakan pihak lain, dan ini juga tidak sesuai dengan
responsibilitas sosial dalam pandangan islam yaitu menyeimbangkan antara kepentingan-kepentingan
individual dan kepentingan-kepentingan sosial serta mencegah apa yang mengancam
individu dan mengancam masyarakat.[8]
.
[1] Aku HIV
Positif, http://akuhivpositif.blogspot.com/2011/04/dilema-pekerja-sosial.html
(diunduh pada 05 Juni 2013)
[2]
Miftachul Huda, Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial Sebuah Pengantar,
Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009, h.145-148.
[3]
Miftachul Huda, Ilmu Kesejahteraan Sosial Paradigma dan Teori,
Yogyakarta:Samudra Biru, 2012, h.6-7.
[4] Arif
Maftuhin, M.Ag, MA., Fiqih Sosial Bahan Ajar Kuliah Prodi IKS, h.84.
[5]
Miftachul Huda, Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial Sebuah Pengantar,
Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009, h.152.
[6] Drs.
Dede Rosyada, M.A., Hukum Islam dan Pranata Sosial Dirasah Islamiyah III,
Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1995, h.57.
[7] Fathu
al-dzari’ah, http://elkafilah.wordpress.com/2012/05/16/fathu-al-dzariah/ .
(diunduh pada 09 April 2013)
[8] DR. Ali
Abdul Halim Mahmud, Fikih Responsibilitas Tanggung Jawab Muslim dalam Islam,
Jakarta:Gema Insani, 2000, h.166.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar