Selasa, 04 Juni 2013

“Penyelesaian Kasus Dilema Etik Pekerjaan Sosial Menjaga Kerahasiaan Klien dalam Pandangan Fiqih Sosial”


Menjalani profesi pekerjaan sosial akan dihadapkan ke dalam berbagai macam kasus, baik pada level mikro, mezzo, maupun makro. Disinilah keahlian pekerja sosial ditantang untuk bersikap tepat ketika mengambil keputusan. Namun menyelesaikan suatu kasus tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Pekerja sosial akan mengalami kedilemaan etik yang harus ia hadapi. Seperti kasus menjaga kerahasiaan klien tetapi di sisi lain membahayakan jiwa individu lain.
Makalah ini akan menjawab kasus dilema etik dalam pekerjaan sosial menurut pandangan fiqih sosial. Metode apa yang dilakukan fiqih sosial dalam menangani kasus dilema etik menjaga kerahasiaan klien? Atas dasar apa metode tersebut diambil?
Menurut penulis penyelesaian kasus dilema etik hampir mirip dengan ijtihad dalam ilmu ushul fiqih. Pemeran utama yaitu pekerja sosial dituntut untuk mengambil keputusan atas dasar ijtihad yang kuat.

Dilema Etik Pekerjaan Sosial
Keberadaan kode etik dalam pekerjaan sosial berperan sebagai pemandu untuk jalannya intervensi. Kode etik menjadi pembatas dan pedoman dasar bagi pekerja sosial agar terarah dan tidak bersikap seenaknya saja.
Lebih jelasnya kasus menjaga kerahasiaan (privacy) klien. Seorang klien bernama Ahmad positif mengidap penyakit HIV, Ahmad meminta pada pekerja sosial yang menangani kasusnya untuk merahasiakan penyakitnya tersebut dari istrinya, karena Ahmad takut ditinggalkan oleh istrinya. Dalam kasus ini pekerja sosial dibingungkan dengan kode etik yang harus menjaga rahasia klien atau membongkar rahasia klien untuk keamanan istrinya.[1]
Menurut Keraf atau Reamer terdapat dua teori yang bisa digunakan untuk mengambil keputusan ketika terjadi dilema etik.
1.      Etika Deontologi
Deontologi berasal dari kata Yunani Deon berarti kewajiban. Menurut etika ini suatu tindakan dianggap baik berdasarkan tindakan itu sendiri bukan berdasarkan tujuan maupun dampak dari perbuatan tersebut. Seperti pada kasus menjaga kerahasian klien, meskipun akan berakibat buruk ketika menjaga rahasia klien tetapi hal tersebut baik karena pekerja sosial telah melaksanakan kewajibannya untuk mentaati hukum atau kode etik yang berlaku.
2.      Etika Teleologi
Etika teleologi bertolak belakang dengan etika deontologi. Pada etika teleologi lebih difokuskan terhadap dampak baik dan buruk yang akan terjadi dari tindakan tersebut. “Etika teleologi didentikan dengan teori utilitarian yakni baik buruknya sesuatu berdasarkan berguna atau tidaknya.” [2]
Pada hakikatnya  tidak ada aturan pasti bagi pekerja sosial untuk memilih teori mana yang harus diambil, itu semua kembali kepada nilai yang dianut oleh masing-masing pekerja sosial.

Pandangan Fiqih Sosial
Menurut Miftachul Huda ada tiga kata kunci dalam memahami definisi pekerjaan sosial. Pertama, aktivitas profesional yaitu aktivitas yang telah dibekali standar keilmuan sosial (profesionalisme). Kedua, masalah sosial. Pekerja sosial berkewajiban untuk menyelesaikan masalah sosial di berbagai tingkatan atas dasar ilmu yang diperolehnya secara akademis. Ketiga kesejahteraan. Dalam praktik pekerjaan pencapain kesejahteraan adalah tujuan utama yang ingin diperoleh.[3] Kata kunci yang ketiga inilah yang akan menjadi dasar dalam menentukan metode penyelesaian kasus dilema etik.
Seperti dalam pemikiran Sahal Mahfudz, Ali Yafie, dan Jasser Auda inti dari fiqih sosial adalah kemaslahatan. “Dalam konteks pekerja sosial, kemaslahatan adalah kesejahteraan sosial (social well-being).”[4]  Menindak lanjuti kasus dilema etik dalam memutuskan menjaga kerahasiaan klien atau membongkarnya, perlu dilihat dari segi dampak baik dan buruk dari tindakan tersebut. Karena tujuan kemaslahatanlah yang ingin dicapai. Proses memutuskan mana yang akan dipilih sama halnya seperti ijtihad yaitu mengerahkan segala daya dan upaya untuk memperoleh sesuatu keputusan.
Metode ijtihad  yang cocok dipakai untuk memutuskan kasus dilema etik adalah metode Al-Dzari’ah. Menurut Counoyer memperingatkan (warn) dan menjaga (protect) orang yang terancam terkait sebuah kasus adalah tanggung jawab dan kewajiban pekerja sosial.[5] Istrinya Ahmad perlu dijaga jiwanya dibandingkan pekerja sosial yang harus menjaga rahasia Ahmad sendiri.
Kata Al-Dzari’ah berarti jalan yang menghubungkan sesuatu kepada sesuatu yang lain. Sedang menurut istilah adalah sesuatu yang akan membawa pada perbuatan-perbuatan terlarang dan menimbulkan mafsadah, atau yang akan membawa pada perbuatan-perbuatan baik dan akan menimbulkan maslahah.”[6] Dengan demikian ada dua macam al-dzari’ah. Pertama, sad al-dzari’ah  yaitu menutup peluang yang akan menimbulkan kerusakan, bisa dihukumi sebagai perbuatan yang haram atau makruh apabila tindakan tersebut dilanjutkan. Seperti menjaga kerahasiaan klien yang akan membahayakan individu lainnya. Kedua, fath al-dzari’ah yaitu membuka peluang untuk memperoleh kemaslahatan, bisa dihukumi sebagai perbuatan wajib, mandub, atau mubah apabila dilakukan. Seperti hal nya membongkar rahasia klien untuk menyelamatkan nyawa seseorang.
Pilihan membuka atau menutup suatu perkara bisa didasarkan atas dua pertimbangan, yaitu melihat akibat yang akan ditimbulkan perbuatan-perbuatan itu dan melihat niat dari pelaksanaan suatu perbuatan. Pada kasus ini Ahmad terlihat lebih mengedepankan egonya dibandingkan keamanan istrinya, maka menutup perbuatan Ahmad sangat dianjurkan demi menyelamatkan istrinya dari tertular penyakit HIV.

Kesimpulan
Persoalan menyelesaikan kasus dilema etik dalam menjaga kerahasiaan klien atau membongkarnya menurut fiqih sosial dapat dilihat dari segi memberikan kemaslahatan atau tidaknya. Metode Al-dzari’ah sangat cocok untuk menangani hal ini. Dimana pekerja sosial diberikan peluang selebar-lebarnya untuk berpikir sehingga akhirnya mengambil keputusan sad al-dzaria’ah atau fath al-dzari’ah. Pilihan fath al-dzari’ah dalam kasus ini lebih memberikan kemaslahatan yang sesuai dengan teori etika teleologi yang melihat akibat dari perbuatan tersebut. Sebagaimana kaidah fiqih “segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun diharamkan.”[7] Karena mengedepankan ego dan mementingkan kepentingan pribadi bukan jalan yang baik yang justru membahayakan pihak lain, dan ini juga tidak sesuai dengan responsibilitas sosial dalam pandangan islam yaitu menyeimbangkan antara kepentingan-kepentingan individual dan kepentingan-kepentingan sosial serta mencegah apa yang mengancam individu dan mengancam masyarakat.[8]

.








[1] Aku HIV Positif, http://akuhivpositif.blogspot.com/2011/04/dilema-pekerja-sosial.html (diunduh pada 05 Juni 2013)
[2] Miftachul Huda, Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial Sebuah Pengantar, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009, h.145-148.
[3] Miftachul Huda, Ilmu Kesejahteraan Sosial Paradigma dan Teori, Yogyakarta:Samudra Biru, 2012, h.6-7.
[4] Arif Maftuhin, M.Ag, MA., Fiqih Sosial Bahan Ajar Kuliah Prodi IKS, h.84.
[5] Miftachul Huda, Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial Sebuah Pengantar, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009, h.152.
[6] Drs. Dede Rosyada, M.A., Hukum Islam dan Pranata Sosial Dirasah Islamiyah III, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1995, h.57.
[7] Fathu al-dzari’ah, http://elkafilah.wordpress.com/2012/05/16/fathu-al-dzariah/ . (diunduh pada 09 April 2013)
[8] DR. Ali Abdul Halim Mahmud, Fikih Responsibilitas Tanggung Jawab Muslim dalam Islam, Jakarta:Gema Insani, 2000, h.166.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar