Selasa, 04 Juni 2013

KH. Ahmad Azhar Basyir: “Aspek Penting dalam Ijtihad untuk Menetapkan Hukum Islam”


 
Menggunakan metode ijtihad sebagai cara untuk menetapkan hukum islam yang belum terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah merupakan jalan  yang harus ditempuh. Namun banyak orang yang menetapkan hukum tanpa mengedepankan syarat sebagai seorang mujtahid, apalagi sekarang permasalahan yang timbul semakin rumit tentu ini memerlukan pendapat dari beberapa ahli.
Tokoh fiqih, Ahmad Azhar Basyir yang terkenal sebagai ulama yang memiliki banyak ilmu tapi low profil[1] ini mengatakan, “berkenaan dengan masalah-masalah yang menjadi kepentingan masyarakat luas, ijtihad fardi sebaiknya dihentikan, untuk menghindari kebingungan masyarakat terhadap ijtihad fardi yang sangat mungkin saling berbeda.”[2] Berdasarkan pernyataan tokoh fiqih tersebut menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah cara berijtihad yang baik menurut pandangan KH Ahmad Azhar Basyir sehingga terwujudnya aktualisasi hukum islam? Dan adakah syarat yang ditetapkan Ahmad Azhar Basyir untuk menjadi seorang mujtahid? Bila ada, apa sajakah itu?
Makalah ini akan membahas lebih dalam tentang ijtihad dari sudut pandang KH. Ahmad Azhar Basyir.
Menurut penulis, jelas terlihat KH. Ahmad Azhar Basyir sangat khawatir terjadinya ijtihad fardi, “karena yang dicari adalah ketentuan hukum syara, maka yang melakukan ijtihad harus benar-benar seorang muslim”[3] Ini menunjukan pula bahwa tidak boleh sembarangan orang melakukan ijtihad, ia harus memenuhi kriteria-kriteria yang tertentu.
Namun, sebelum argumen ini dipaparkan lebih lanjut penulis akan memaparkan pengertian ijtihad dari beberapa sumber agar bisa membandingkan dengan pandangan Ahmad Azhar Basyir dan diambil benang merahnya.

Pengertian Ijtihad menurut beberapa tokoh
Ijtihad secara bahasa berasal dari kata al-jahd, al-juhd, (ﺪﻬﺠﻟا) dan ath-thaqat yang artinya yaitu kesulitan, kesusahan, dan juga berupa suatu kesanggupan atau kemampuan (al-masyaqat).[4]
            “Menurut Dr. Wahbah az-zuahily menyimpulkan bahwa ijtihad adalah upaya mengistinbatkan hukum-hukum syara dari dalil-dalilnya secara rinci.”[5]
            Menurut ahli tahqieq, ”ijtihad itu ialah: Qiyas dan mengeluarkan (mengistinbathkan) hukum dari qaedah-qaedah Syara’ yang umum.”[6]
Menurut Ali Yafie, ijtihad mengandung pengertian suatu upaya pemikiran yang sungguh-sungguh untuk menegaskan suatu persangkaan kuat (zhann) yang didasarkan sesuatu petunjuk yang diberlakukan dalam hal yang bersangkutan.[7]
Sedangkan menurut Ahmad Azhar Basyir sendiri ijtihad adalah penggunaan pikiran semaksimal mungkin untuk memperoleh ketentuan hukum syara.[8]
Penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian ijtihad menurut Ahmad Azhar tidak jauh berbeda dengan tokoh lainnya, yakni, mengupayakan segala daya dan upaya dengan merujuk pada landasan yang lebih kuat untuk memperoleh ketetapan hukum. Lebih lanjut Ahmad Azhar juga menjelaskan berijtihad dalam hal-hal yang tidak disebutkan dalam nash Al-Qur’an dan Sunnah, tidak menghadapi kesulitan apa pun, yang mana menurutnya dapat ditempuh dengan berbagai cara, diantaranya:
a.   qiyas (analogi), menyamakan sesuatu hal yang tidak disebutkan hukumnya di dalam nash karena adanya persamaan illat hukum pada dua macam hal tersebut.
b. ri’ayat mashlih al-khalaq, yaitu menarik manfaat dan menolak mudarat dalam kehidupan manusia. Dapat dijabarkan dalam berbagai cabangnya:
1)  Maslahat Mursalat: menetapkan hukum dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan di dalam nash, dengan mempertimbangkan kepentingan hidup manusia.
2)  Istihsan: memandang lebih baik, sesuai dengan tujuan syariat, untuk meninggalkan ketentuan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum.
3)  Istish-hab: melangsungkan berlakunya ketentuan hukum yang ada, hingga terdapat ketentuan dalil yang mengubahnya
4)  ‘Urf, dapat dibagi menjadi dua: urf shahih adalah adat istiadat yang telah diterima oleh masyrakat luas, dibenarkan oleh pertimbangan akal sehat, membawa kebaikan, menolak kerusakan, dan tidak menyalahi ketentuan nash Al-Quran dan Sunnah. Adapun ‘urf fasid adalah adat istiadat yang telah mapan dalam kehidupan masyarakat, tetapi tidak dapat diterima akal sehat, mendatangkan mudharat, dan bertentangan dengan ketentuan syari’at.
Berbeda dengan ijtihad menetapkan hukum nash. Ijtihad terhadap nash dapat berupa pemahaman terhadap kandungan nash, dan dapat pula berupa pemahaman terhadap illat, tujuan, atau jiwa hukum nash. Ahmad Azhar juga menganjurkan agar ijtihad dalam hukum islam dilakukan secara jama’iy (bersama-sama), dan mendapat dukungan dengan fasilitas kenegaraan tanpa mengurangi kebebasan para mujtahid, akan lebih berhasil. Spesialisasi dalam bidang ijtihad dan lembaga-lembaga ijtihad berwawasan internasionall kiranya juga perlu dipikirkan.
Pandangan ijtihad Ahmad Azhar memang ada baiknya, karena apabila menemukan permasalahan yang belum ada hukumnya, sedangkan itu menyangkut kepentingan umat, maka diperlukan banyak pendapat untuk mencapai aktualisasi hukum islam.


Kriteria seorang mujtahid
Menyinggung kriteria seorang mujtahid, Ahmad Azhar dalam bukunya ijtihad dalam sorotan menyebutkan ketentuan yang harus dimilki oleh seorang mujtahid, yaitu: kukuh akidahnya, baik ibadahnya dan mulia akhlaknya, dan mengetahui bahasa yang dipergunakan dalam dalil-dalil tersebut. Karena dalam mencarinya menggunakan pikiran, maka pencarinya pun harus memenuhi syarat-syarat berpikir yang benar.  

Kesimpulan
KH. Ahmad Azhar Basyir begitu perhatian dan mementingkan persoalan ijtihad dalam pengambilan hukum islam, baik itu dalam hal metode ijtihad maupun kriteria sebagai seorang mujtahid. Sehingga ia melakukan pembaharuan dari segi pemikirannya yang maju, yang mana pemikiranya ini disesuaikan dengan konteks ruang dan waktu, maka hukum yang ditetapkannyapun akan memperoleh hasil yang lebih baik. Sebagaimana Nabi pernah bersabda ijtihad yang benar akan memperoleh 2 ganjaran dan yang salah 1 ganjaran.    

           




[2] Ahmad Azhar Basyir, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung:Mizan, 1988, hal. 63.
[3] Ibid, hal. 46.
[6] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta:Bulan Bintang, 1975, hal.63.
[7]Ali Yafie, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung:Mizan, 1988, hal. 63. hal. 71.
[8] Ahmad Azhar Basyir, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung:Mizan, 1988, hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar