Menggunakan metode ijtihad sebagai cara
untuk menetapkan hukum islam yang belum terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah
merupakan jalan yang harus ditempuh.
Namun banyak orang yang menetapkan hukum tanpa mengedepankan syarat sebagai
seorang mujtahid, apalagi sekarang permasalahan yang timbul semakin rumit tentu ini memerlukan pendapat dari beberapa
ahli.
Tokoh fiqih, Ahmad Azhar Basyir yang
terkenal sebagai ulama yang memiliki banyak ilmu tapi low profil[1] ini
mengatakan, “berkenaan dengan masalah-masalah yang menjadi kepentingan
masyarakat luas, ijtihad fardi sebaiknya dihentikan, untuk menghindari
kebingungan masyarakat terhadap ijtihad fardi yang sangat mungkin saling
berbeda.”[2]
Berdasarkan pernyataan tokoh fiqih tersebut menimbulkan pertanyaan,
bagaimanakah cara berijtihad yang baik menurut pandangan KH Ahmad Azhar Basyir
sehingga terwujudnya aktualisasi hukum islam? Dan adakah syarat yang
ditetapkan Ahmad Azhar Basyir untuk menjadi seorang mujtahid? Bila ada, apa
sajakah itu?
Makalah ini akan membahas lebih dalam tentang ijtihad dari sudut pandang
KH. Ahmad Azhar Basyir.
Menurut penulis, jelas terlihat KH.
Ahmad Azhar Basyir sangat khawatir terjadinya ijtihad fardi, “karena yang
dicari adalah ketentuan hukum syara, maka yang melakukan ijtihad harus
benar-benar seorang muslim”[3]
Ini menunjukan pula bahwa tidak boleh sembarangan orang melakukan ijtihad, ia
harus memenuhi kriteria-kriteria yang tertentu.
Namun, sebelum
argumen ini dipaparkan lebih lanjut penulis akan memaparkan pengertian ijtihad
dari beberapa sumber agar bisa membandingkan dengan pandangan Ahmad Azhar
Basyir dan diambil benang merahnya.
Pengertian Ijtihad
menurut beberapa tokoh
Ijtihad secara bahasa berasal dari kata al-jahd, al-juhd, (ﺪﻬﺠﻟا) dan
ath-thaqat yang artinya yaitu kesulitan, kesusahan, dan juga berupa suatu
kesanggupan atau kemampuan (al-masyaqat).[4]
“Menurut
Dr. Wahbah az-zuahily menyimpulkan bahwa ijtihad adalah upaya mengistinbatkan
hukum-hukum syara dari dalil-dalilnya secara rinci.”[5]
Menurut ahli tahqieq,
”ijtihad itu ialah: Qiyas dan mengeluarkan (mengistinbathkan) hukum dari
qaedah-qaedah Syara’ yang umum.”[6]
Menurut Ali Yafie,
ijtihad mengandung pengertian suatu upaya pemikiran yang sungguh-sungguh untuk
menegaskan suatu persangkaan kuat (zhann) yang didasarkan sesuatu petunjuk yang
diberlakukan dalam hal yang bersangkutan.[7]
Sedangkan menurut
Ahmad Azhar Basyir sendiri ijtihad adalah penggunaan pikiran semaksimal mungkin
untuk memperoleh ketentuan hukum syara.[8]
Penulis dapat
menyimpulkan bahwa pengertian ijtihad menurut Ahmad Azhar tidak jauh berbeda
dengan tokoh lainnya, yakni, mengupayakan segala daya dan upaya dengan merujuk
pada landasan yang lebih kuat untuk memperoleh ketetapan hukum. Lebih lanjut
Ahmad Azhar juga menjelaskan berijtihad dalam hal-hal yang tidak disebutkan
dalam nash Al-Qur’an dan Sunnah, tidak menghadapi kesulitan apa pun, yang mana
menurutnya dapat ditempuh dengan berbagai cara, diantaranya:
a.
qiyas (analogi), menyamakan sesuatu hal yang
tidak disebutkan hukumnya di dalam nash karena adanya persamaan illat hukum
pada dua macam hal tersebut.
b. ri’ayat mashlih al-khalaq, yaitu menarik
manfaat dan menolak mudarat dalam kehidupan manusia. Dapat dijabarkan dalam
berbagai cabangnya:
1) Maslahat Mursalat:
menetapkan hukum dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan di dalam nash,
dengan mempertimbangkan kepentingan hidup manusia.
2) Istihsan: memandang
lebih baik, sesuai dengan tujuan syariat, untuk meninggalkan ketentuan dalil
khusus dan mengamalkan dalil umum.
3) Istish-hab:
melangsungkan berlakunya ketentuan hukum yang ada, hingga terdapat ketentuan
dalil yang mengubahnya
4) ‘Urf, dapat dibagi
menjadi dua: urf shahih adalah adat istiadat yang telah diterima oleh
masyrakat luas, dibenarkan oleh pertimbangan akal sehat, membawa kebaikan,
menolak kerusakan, dan tidak menyalahi ketentuan nash Al-Quran dan Sunnah.
Adapun ‘urf fasid adalah adat istiadat yang telah mapan dalam kehidupan masyarakat,
tetapi tidak dapat diterima akal sehat, mendatangkan mudharat, dan bertentangan
dengan ketentuan syari’at.
Berbeda dengan
ijtihad menetapkan hukum nash. Ijtihad terhadap nash dapat berupa pemahaman
terhadap kandungan nash, dan dapat pula berupa pemahaman terhadap illat,
tujuan, atau jiwa hukum nash. Ahmad Azhar juga menganjurkan agar ijtihad dalam
hukum islam dilakukan secara jama’iy (bersama-sama), dan mendapat dukungan
dengan fasilitas kenegaraan tanpa mengurangi kebebasan para mujtahid, akan lebih
berhasil. Spesialisasi dalam bidang ijtihad dan lembaga-lembaga ijtihad
berwawasan internasionall kiranya juga perlu dipikirkan.
Pandangan ijtihad
Ahmad Azhar memang ada baiknya, karena apabila menemukan permasalahan yang
belum ada hukumnya, sedangkan itu menyangkut kepentingan umat, maka diperlukan
banyak pendapat untuk mencapai aktualisasi hukum islam.
Kriteria seorang mujtahid
Menyinggung
kriteria seorang mujtahid, Ahmad Azhar dalam bukunya ijtihad dalam sorotan
menyebutkan ketentuan yang harus dimilki oleh seorang mujtahid, yaitu: kukuh
akidahnya, baik ibadahnya dan mulia akhlaknya, dan mengetahui bahasa yang
dipergunakan dalam dalil-dalil tersebut. Karena dalam mencarinya menggunakan
pikiran, maka pencarinya pun harus memenuhi syarat-syarat berpikir yang benar.
Kesimpulan
KH. Ahmad Azhar Basyir begitu perhatian dan
mementingkan persoalan ijtihad dalam pengambilan hukum islam, baik itu dalam
hal metode ijtihad maupun kriteria sebagai seorang mujtahid. Sehingga ia
melakukan pembaharuan dari segi pemikirannya yang maju, yang mana pemikiranya
ini disesuaikan dengan konteks ruang dan waktu, maka hukum yang
ditetapkannyapun akan memperoleh hasil yang lebih baik. Sebagaimana Nabi pernah
bersabda ijtihad yang benar akan memperoleh 2 ganjaran dan yang salah 1 ganjaran.
[1] http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2010/01/kh-ahmad-azhar-basyir-perteguh-gerakan.html (diunduh 24 Maret 2012)
[3] Ibid, hal. 46.
[4] http://sahabatachoi.blogspot.com/2011/03/pengertian-dan-macam-macam-ijtihad.html (diunduh 27 Maret
2012).
[5] http://sahabatachoi.blogspot.com/2011/03/pengertian-dan-macam-macam-ijtihad.html (diunduh 27 Maret
2012).
[6] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum
Islam, Jakarta:Bulan Bintang, 1975, hal.63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar