Kepedulian islam dalam mensejahterakan umatnya sangat diatur rapi
dan terencana. Zakat sebagai sebuah solusi yang ditawarkan islam adalah bukti
konkrit yang tetap harus ditegakan. Konsep yang dimiliki zakat adalah
sebaik-baiknya konsep dalam bidang sosial dan ekonomi karena zakat bersifat
maklumiah (ditentukan). Mulai dari harta yang akan dipindahkan kepemilikanya
murni milik pribadi (genuine
ownership), harta pun harus mencapai nisab yaitu besar kecilnya harta yang
dizakatkan, tidak adanya hutang yang melilit si pemberi zakat, dan kepemilikan
satu tahun penuh karena harta yang cepat busuk dan rusak tidak termasuk aset
waji zakat.
Lembaga yang
mengatur zakat pun kini sudah mudah untuk ditemui sehingga kesadaran untuk
melakukan zakat semakin meningkat. Hanya saja lembaga zakat yang ada belum
sepenuhnya bisa memberdayakan (empowerment) harta yang ditampung. Hal ini
mengakibatkan umat islam kehilangan kepercayaannya dan memilih untuk memberikan
secara langsung. Keberadaan lembaga zakat seharusnya bisa meningkatkan
keberfungsian sosial yaitu mampu untuk membantu individu di dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya, mampu untuk mengembalikan dan menjalankan individu dalam
peran sosial sesuai dengan tugas dan perannya masing-masing, dan mampu untuk
membantu individu di dalam menghadapi goncangan dan gangguan dalam hidupnya.
Ada tiga cara
untuk melakukan pemberdayaan harta zakat. Pertama, lembaga memberikan secara
langsung kepada mustahik[1],
sehingga pemakain harta yang dipindahkan kepemilikannya sepenuhnya adalah hak
penerima. Namun terkadang hal ini kurang efektif dan bersifat sementara. Karena
tidak adanya monitoring dari lembaga yang mendistribusikan zakat.
Kedua, lembaga
mendistribusikan harta zakat untuk pemenuhan tingkat kesejahteraan sosial dan
psikologis mustahik. Cara kedua memang perlu adanya kesepakatan serta kerjasama
dari pemberi zakat, penerima zakat, dan lembaga yang mengatur zakat. Pemenuhan
tingkat kesejahteraan sosial dan psikologis individu pun terlebih dahulu
dilakukan identifikasi agar tepat sasaran dan kebutuhan. Misal dalam suatu
kampung fasilitas kesehatannya kurang memadai maka lembaga zakat bisa
mengaturnya dengan cara membuatkan puskesmas. Oleh sebab itu dana zakat akan
lebih bermanfaat dan memuaskan kebutuhan penerimanya.
Ketiga, lembaga
zakat berusaha meningkatkan sumberdaya manusia agar dapat bersaing hidup di
dunia sosial dan ekonomi. Lembaga zakat memberikan training untuk
menggali skill serta ikut mengawasi kegiatan mustahik. Mencarikan tempat
lapangan kerja, memberitakan informasi untuk distribusi, dan melakukan evaluasi
agar training yang dilaksanakan berjalan jangka panjang.
Banyak harapan
besar dari pelaksanaan zakat terlebih tujuan zakat untuk kesejahterakan umat.
Keberhasilan terbesar dalam pemberdayaan zakat adalah ketika penerima zakat dapat menjadi pemberi zakat.
[1] Yang berhak menerima zakat Ialah: 1.
orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan
tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang miskin: orang yang tidak cukup
penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang
diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir
yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih
lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang
ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena
untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun
orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya
itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah
(sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di
antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga
kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan
lain-lain. 8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami
kesengsaraan dalam perjalanannya.
.....
BalasHapus